Selasa, 07 Januari 2014

Cerpen "Hantu di Pohon Mangga"

          “Nanti malam, Ayah dan Ibu akan pergi ke resepsi pernikahan teman Ayah di Sukabumi,” kata Ayah pagi itu.
       “Berarti aku sendiri saja di rumah?” tanya Toro. Terbayang sudah ia akan ketakutan sendirian. Dery dan Rohman selalu bercerita bahwa mereka sering melihat hantu di pohon mangga miliknya. Cerita mereka begitu meyakinkan sampai membuat bulu kuduk Toro berdiri.
          “Ya. Kamu belajar saja di rumah. Besok kan, bukan hari libur,” kata Ayah.
          “Jam berapa Ayah pulang?”
       “Sekitar jam satu, karena jalan ke Sukabumi banyak yang diperbaiki. Sering macet.”
      Sendirian saja di rumah sampai jam satu malam, alangkah lamanya. Toro mendesah sendiri. Ia merasa tidak akan bisa tidur nyenyak. Hatinya tidak tenang. Pikirannya pasti akan tertuju pada hantu yang ada di pohon mangga. Bagaimana kalau hantu di pohon mangga itu masuk ke rumah? Pada siapa ia akan berteriak minta tolong?
          Pernah Toro mengusulkan agar pohon mangga di depan rumah itu ditebang saja. Namun Ayah tidak setuju. Pohon mangga itu memang rindang, hingga membuat halaman rumah ikut teduh. Belum lagi kalau pas berbuah, buahnya orange kemerah-merahan, rasanya manis, dan dagingnya tebal.
          “Jangan mudah menebang pohon, Toro. Pohon itu sangat bermanfaat buat kita. Malah perlu kita rawat dengan baik. Eh, mengapa kamu mengusulkan pohon mangga itu ditebang? Ada apa Toro?” tanya Ayah waktu itu.
          Tentu saja Toro tidak berani mengatakan alasan yang sebenarnya. Ayah akan menertawakannya kalau ia bilang pohon itu ada hantunya.
          Teman-teman yang sering lewat di depan rumah Toro, pernah melarang Toro keluar malam. Kata mereka, hantu di pohon mangga Toro itu sangat seram.
          Malamnya, jam tujuh Ayah dan Ibu siap-siap berangkat.
          “Hati-hati menjaga rumah, ya, Toro,” pesan Ayah.
        “Kalau ada orang yang mencurigakan, jangan dibukakan pintu,” Ibu menasihati.
         Begitu Ayah dan Ibu pergi, Toro buru-buru menutup gerbang pagar rumahya. Ia segera berlari ketika melewati pohon mangga yang ada di depan rumah. Jangankan menatap ke atas, ketika melewatinya saja, bulu kuduk Toro sudah merinding. Toro menutup pintu-pintu rumah tergesa-gesa.
       Masih sekitar lima jam lagi menunggu Ayah dan Ibu pulang. Toro menatap jarum jam yang pelan sekali bergerak.
          Toro ingin belajar, namun ia tidak bisa berkonsentrasi. Hantu pohon mangga selalu bermunculan di kepalanya.
       Pletok! Jantung Toro seperti berhenti berdetak. Bunyi mangga yang jatuh mengenai batu, jelas terdengar.
         Pasti hantu itu yang menggoyangkan pohon. Pikiran buruk terus bermunculan di kepala Toro. Semoga hantu itu kekenyangan makan buah mangga dan tidak turun ke rumah ini.
Tetapi sebentar! Adakah hantu yang suka makan mangga? Jangan-jangan… Toro jadi curiga. Ia jadi penasaran bercampur takut.
“Aku harus berani! Aku harus melawan hantu!” bisik Toro kemudian, memberanikan dirinya.
Perlahan, Toro melangkah menuju gudang. Ia mengambil ketapel dan senter besar. Toro lalu naik ke lantai dua rumahnya, mencari tempat yang tersembunyi. Sekarang, ia akan memberi kejutan pada hantu pohon mangga itu.
Bulan tampak keluar sedikit di balik awan. Toro mengatur detak nafasnya. Dari balik kaca jendela, ia melihat dua tubuh kecil mendekati pohon mangganya. Mereka celingukan sejenak. Lalu dengan lincah memanjat pohon mangganya.
Oh, itu hantunya…gumam Toro. Keberaniannya semakin menguat. Dengan sabar ia menunggu kedua hantu itu naik. Sampai akhirnya, posisi hantu itu sejajar dengan dirinya.
Toro sengaja sudah mematikan lampu di tempat ia sembunyi. Kini ia dengan leluasa bisa melihat aksi dua hantu itu. Mereka mengambil mangga dan memasukkannya ke dalam plastic.
Ketika asyik mengumpulkan mangga itu, dengan cepat Toro membuka jendela dan mengarahkan senter besar kea rah mereka. Tampak kedua hantu itu memakai penutup sarung putih.
Keduanya terkejut melihat cahaya senter terarah ke diri mereka. Plastic berisi mangga sampai terjatuh.
“Heeeii, hantu! Rasakan ketapelku. Bisa membuat kepala kalian bengkak,” ancam Toro.
“Ampuuun, Toro,” seru salah satu hantu.
Toro mengenal baik suara hantu itu. Itu suara Dery, temannya bermain sepak bola.
“Ampuuun, Toro,” seru hantu yang satunya lagi. Ah, suara serak itu, pasti milik Rohman, piker Toro.
“Jadi kalian menakut-nakuti aku supaya bisa mengambil manggaku, ya?” seru Toro geli.
“Maaf ya, Toro,” kata mereka berbarengan.
“Lekas turun dari pohon! Kalau ingin mangga, ayo kita makan mangga sama-sama,” ajak Toro.
Dua hantu itu menurut. Mereka pun berpesta mangga yang manis, di malam itu.


****




Oleh  :         Dwiyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar