“Nanti
malam, Ayah dan Ibu akan pergi ke resepsi pernikahan teman Ayah di Sukabumi,”
kata Ayah pagi itu.
“Berarti aku sendiri saja di rumah?”
tanya Toro. Terbayang sudah ia akan ketakutan sendirian. Dery dan Rohman selalu
bercerita bahwa mereka sering melihat hantu di pohon mangga miliknya. Cerita
mereka begitu meyakinkan sampai membuat bulu kuduk Toro berdiri.
“Ya. Kamu belajar saja di rumah. Besok
kan, bukan hari libur,” kata Ayah.
“Jam berapa Ayah pulang?”
“Sekitar jam satu, karena jalan ke Sukabumi
banyak yang diperbaiki. Sering macet.”
Sendirian saja di rumah sampai jam satu
malam, alangkah lamanya. Toro mendesah sendiri. Ia merasa tidak akan bisa tidur
nyenyak. Hatinya tidak tenang. Pikirannya pasti akan tertuju pada hantu yang
ada di pohon mangga. Bagaimana kalau hantu di pohon mangga itu masuk ke rumah?
Pada siapa ia akan berteriak minta tolong?
Pernah Toro mengusulkan agar pohon
mangga di depan rumah itu ditebang saja. Namun Ayah tidak setuju. Pohon mangga
itu memang rindang, hingga membuat halaman rumah ikut teduh. Belum lagi kalau
pas berbuah, buahnya orange kemerah-merahan, rasanya manis, dan dagingnya
tebal.
“Jangan mudah menebang pohon, Toro.
Pohon itu sangat bermanfaat buat kita. Malah perlu kita rawat dengan baik. Eh,
mengapa kamu mengusulkan pohon mangga itu ditebang? Ada apa Toro?” tanya Ayah
waktu itu.
Tentu saja Toro tidak berani
mengatakan alasan yang sebenarnya. Ayah akan menertawakannya kalau ia bilang
pohon itu ada hantunya.
Teman-teman yang sering lewat di depan
rumah Toro, pernah melarang Toro keluar malam. Kata mereka, hantu di pohon
mangga Toro itu sangat seram.
Malamnya, jam tujuh Ayah dan Ibu
siap-siap berangkat.
“Hati-hati menjaga rumah, ya, Toro,”
pesan Ayah.
“Kalau ada orang yang mencurigakan,
jangan dibukakan pintu,” Ibu menasihati.
Begitu Ayah dan Ibu pergi, Toro
buru-buru menutup gerbang pagar rumahya. Ia segera berlari ketika melewati
pohon mangga yang ada di depan rumah. Jangankan menatap ke atas, ketika melewatinya
saja, bulu kuduk Toro sudah merinding. Toro menutup pintu-pintu rumah
tergesa-gesa.
Masih sekitar lima jam lagi menunggu
Ayah dan Ibu pulang. Toro menatap jarum jam yang pelan sekali bergerak.
Toro ingin belajar, namun ia tidak
bisa berkonsentrasi. Hantu pohon mangga selalu bermunculan di kepalanya.
Pletok! Jantung Toro seperti berhenti
berdetak. Bunyi mangga yang jatuh mengenai batu, jelas terdengar.
Pasti hantu itu yang menggoyangkan
pohon. Pikiran buruk terus bermunculan di kepala Toro. Semoga hantu itu kekenyangan
makan buah mangga dan tidak turun ke rumah ini.
Tetapi sebentar! Adakah hantu yang suka makan
mangga? Jangan-jangan… Toro jadi curiga. Ia jadi penasaran bercampur takut.
“Aku harus berani! Aku harus melawan hantu!” bisik
Toro kemudian, memberanikan dirinya.
Perlahan, Toro melangkah menuju gudang. Ia mengambil
ketapel dan senter besar. Toro lalu naik ke lantai dua rumahnya, mencari tempat
yang tersembunyi. Sekarang, ia akan memberi kejutan pada hantu pohon mangga
itu.
Bulan tampak keluar sedikit di balik awan. Toro mengatur
detak nafasnya. Dari balik kaca jendela, ia melihat dua tubuh kecil mendekati
pohon mangganya. Mereka celingukan sejenak. Lalu dengan lincah memanjat pohon
mangganya.
Oh, itu hantunya…gumam Toro. Keberaniannya semakin
menguat. Dengan sabar ia menunggu kedua hantu itu naik. Sampai akhirnya, posisi
hantu itu sejajar dengan dirinya.
Toro sengaja sudah mematikan lampu di tempat ia
sembunyi. Kini ia dengan leluasa bisa melihat aksi dua hantu itu. Mereka mengambil
mangga dan memasukkannya ke dalam plastic.
Ketika asyik mengumpulkan mangga itu, dengan cepat
Toro membuka jendela dan mengarahkan senter besar kea rah mereka. Tampak kedua
hantu itu memakai penutup sarung putih.
Keduanya terkejut melihat cahaya senter terarah ke
diri mereka. Plastic berisi mangga sampai terjatuh.
“Heeeii, hantu! Rasakan ketapelku. Bisa membuat
kepala kalian bengkak,” ancam Toro.
“Ampuuun, Toro,” seru salah satu hantu.
Toro mengenal baik suara hantu itu. Itu suara Dery,
temannya bermain sepak bola.
“Ampuuun, Toro,” seru hantu yang satunya lagi. Ah,
suara serak itu, pasti milik Rohman, piker Toro.
“Jadi kalian menakut-nakuti aku supaya bisa
mengambil manggaku, ya?” seru Toro geli.
“Maaf ya, Toro,” kata mereka berbarengan.
“Lekas turun dari pohon! Kalau ingin mangga, ayo
kita makan mangga sama-sama,” ajak Toro.
Dua hantu itu menurut. Mereka pun berpesta mangga
yang manis, di malam itu.
****
Oleh : Dwiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar